Solusi Menumbuhkan
Semangat Nasionalisme Religius Pemuda Indonesia Perspektif Mustafa Masyhur
Oleh:
Muhammad Isya
E-mail: muhammadisya92@gmail.com
Abstrak
Pemuda merupakan generasi yang mempunyai semangat religius dan sebagai
pilar bagi kebangkitan bangsa Indonesia. Namun, jika melihat kondisi pemuda
Indonesia sendiri yang banyak terlibat dalam aksi kekerasan dan pelanggaran
hukum, tidak akan mungkin kebangkitan bangsa akan terwujud. Perlu adanya solusi
bijak dalam menumbuhkan semangat nasionalisme religius itu. Untuk itu, makalah
ini akan menjelaskan solusi dalam upaya menumbuhkan semangat nasionalisme
religius pemuda Indonesia berdasarkan teori dakwah yang dibangun oleh Mustafa
Masyhur
Kata kunci: Teori Dakwah Mustafa Masyhur, Islam, Nasionalisme Religius, Pemuda Indonesia.
A. PENDAHULUAN
Pemuda merupakan harapan bangsa dan sebagai pilar kebangkitan Indonesia. Sebagaimana
yang ditegaskan al-Banna,[1] pada
diri pemuda terdapat empat hal (iman, ikhlas, semangat dan amal) dan apabila
keempat hal tersebut dioptimalkan, maka
bisa menjadi sumber kebangkitan bangsa.[2]
Bahkan, Soekarno juga mengatakan:
“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri
aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”[3]
Padahal
faktanya, pemuda Indonesia tidak seperti yang diungkapkan al-Banna. Bahkan, jika melihat pernyataan
Sarwini yang dikutip melalui Ditjen Lapas Depkumham, pemuda Indonesia banyak
yang terlibat pada kejahatan dan pelanggaran hukum.[4]
Begitu juga yang disampaikan R. Nasir, dkk., jika di Amerika Serikat, setiap
lima menit remaja ditangkap karena melakukan tindak pidana kekerasan dan setiap
dua jam seorang anak ditembak dan dibunuh, seperti itu juga yang terjadi di
Indonesia.[5]
Oleh karena itu, perlu adanya langkah khusus untuk mengatasi persoalan
tersebut atau solusi menumbuhkan semangat nasionalisme religius pemuda
Indonesia agar menjadi pilar kebangkitan bangsa. Makalah ini akan membahas
solusi tersebut berdasarkan perspektif Mustafa Masyhur.
B.
PEMBAHASAN
Pada bagian pembahasan ini akan dijelaskan dua hal, yaitu teori dakwah Mustafa Masyhur, dan solusi menumbuhkan
nasionalisme pemuda Indonesia bersadarkan teori tersebut.
1.
Teori Dakwah Mustafa Masyhur
Melihat
sejarah Islam pada masa Rasulullah, menurut Masyhur kondisi saat ini hampir sama dengan
Islam periode Makkah. Persamaan itu dilihat dari keterasingan dakwah di
masyarakat, tekanan atau penganiayaan orang kafir kepada orang beriman,[6] jumlah
muslimin yang minoritas menghadapi penguasa yang makar. Untuk itu, perlu adanya
tahap-tahap dakwah dalam membentuk, membina dan menanamkan dasar keimanan yang
kokoh. Tentu saja memerlukan kekuatan iman, kesabaran dan kerapian, teliti dan
cermat, dan kerja keras yang kontinu dari pengemban dakwah tersebut. Mashhu>r mengutip pendapat al-Banna, dalam hal membentuk
umat, mendidik bangsa, dan mewujudkan cita-cita memerlukan umat yang aktif
dalam mewujudkan cita-cita itu.[7]
Seharusnya
setiap dakwah memiliki tiga tahap sebagai berikut: Pertama, tahap penerangan kepada setiap lapisan
masyarakat. Kedua, tahap pembinaan dan pembentukan kader dakwah dari
orang-orang yang terpilih. Ketiga, tahap pelaksanaan dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Ketiga hal tersebut harus disesuaikan satu sama lain
dan tidak berjalan terpisah, karena kekuatan dakwah tergantung padanya. Apabila
salah satunya hilang, maka dakwah akan kehilangan kekuatan.[8]
a.
Tahap Pengenalan Dakwah
Pengenalan dakwah merupakan hal yang paling dasar dan paling awal dalam
tahapan dakwah. Oleh sebab itu kesalahan dalam memahami dan menjalankan tahap
ini akan berdampak fatal pada pemahaman dan pengamalan tahap berikutnya. Hal
yang paling utama sebelum menyampaikan dakwah, kader dakwah harus memahami
kembali Islam secara benar dan menjauhkan dari bentuk penyimpangan terhadapnya.
Kader dakwah harus memahami Quran secara benar, hadis-hadis, dan sejarah
Rasulullah hingga orang-orang saleh lainnya. Inilah yang disebut kemurnian
dakwah, dakwah yang sampaikan harus berdasarkan kebenaran Islam.[9]
Selain dari kemurnian
dakwah, perlu adanya totalitas dan muruah bagi pengemban dakwah. Sebagaimana
dalam konsep “Islamic Identity”al-Banna, salah satunya mengatakan
bahwa Islam merupakan agama yang komprehensif, yaitu agama yang inklusif dan
sudah mengatur semua aspek kehidupan.[10] Selain
dari itu, al-Banna juga pernah menegaskan:
إذا كان الإسلام شيئا غير السياسة وغير الاجتماع وغير
الاقتصاد وغير الثقافة فما هو إذن؟... ألهذا أيها الإخوان نزل القرآن نظاما كاملا
محكما مفصلا.[11]
Artinya:
Apabila Islam itu sesuatu bukan politik, sosial,
ekonomi, dan budaya, lalu apa?... Ketahuilah wahai saudara-saudara bahwa
Alquran itu diturunkan dengan tertib, lengkap, sempurna, lagi terperinci.
Islam bukan hanya
mengatur masalah keyakinan, tetapi akhlak, tingkah laku, perasaan, pendidikan,
sosial, politik, ekonomi, militer dan peradilan.[12] Untuk itu,
kebenaran Islam harus disampaikan secara totalitas dan tidak sepotong-sepotong
serta ikhlas karena Allah. Kemudian pengemban dakwah harus juga menjadi contoh,
model dan teladan di masyarakat. Kehidupannya harus sesuai dengan pola
kehidupan Rasulullah dan selalu komitmen dengan ajaran Islam.[13]
Pendakwah harus mempunyai banyak bacaan, mengikuti bermacam peristiwa,
kondisi dan situasi, mengetahui aliran pemikiran dan ideologi yang ada. Dia
mengetahui dan mengamalkan metode dakwah yang baik serta mengetahui kondisi
objek dakwah. Dai harus menanamkan terlebih dahulu pemahaman akidah, kewajiban
dan sunah yang harus dikerjakan objek dakwah. Kemudian yang paling pokok, dai
tidak membedakan objek dakwah dalam minat dan kesungguhannya.[14]
b.
Tahap Pembentukan dan
Pembinaan
Sebelum memasuki tahap ini, ada hal yang perlu dilihat psikologi dan emosi
objek dakwah tersebut. Realitasnya, hanya orang-orang tertentu yang mampu
mengemban amanah ini, mereka memahami seluruh aspek di atas, mampu
melaksanakannya, dan rela mengorbankan diri, harta serta kedudukan yang
diembannya. Adapun kesungguhan, kerja keras dan usaha tidak akan lahir kecuali
dakwah merasuki pikirannya, hatinya, dan darah dagingnya. Setelahnya, barulah dibentuk
dan dibina, kesadaran rohani yang muncul setelah tahap penerangan harus terus
dibina dan dipelihara, serta angan sampai lingkungan tempat ia tinggal
menjadikan kesadaran itu musnah.[15]
c.
Tahap Pelaksanaan
Setelah dua tahap di atas diterapkan, barulah melaksanakan tujuan yang
hendak dicapai. Tahap demi tahap yang dilakukan hanya merupakan bahan mentah
dan yang memberikan hidayah itu Allah. Akan ada beberapa cobaan dan ujian untuk
membersihkan dan membedakan yang beriman dan kafir, yang benar dan dusta. Masyhur mengutip perkataan al-Banna, betapa banyak orang
yang pandai berkata dan sedikit yang bisa mengamalkan dan melaksanakan.[16]
2. Solusi Mustafa Masyhur dalam Menumbuhkan
Semangat Nasionalisme Religius Pemuda Indonesia
Teori dakwah Mustafa Masyhur berusaha menumbuhkan
semangat nasionalisme religius pemuda Melalui pendekatan Islam. Filosofisnya,
jika kepahaman agama pemuda sudah kuat dan benar, maka akan mudah mengajaknya
mencapai tujuan yang diimpikan. Ditambah lagi dengan Islam memang sudah
mengatur juga masalah nasionalisme religius. Hampir sama dengan pendapat
Jonathan Fox, bahwa peran agama dalam membangkitkan semangat nasionalisme di
dunia ini sangat besar, meskipun peran agama bukanlah satu-satunya faktor
kebangkitan tersebut. Tercatat, mulai dari tahun 1945-1980, pengaruh agama dan
non-agama terhadap semangat itu hampir seimbang. Akan tetapi, mulai dari tahun
1980-2001, peran agama melampaui non-agama dan bahkan pengaruh tersebut terus
meningkat.[17]
Seperti yang terjadi di
Indonesia, menurut Amry Vandenbosch, agama sangat mendominasi dalam pemicu tumbuhnya semangat nasionalisme.
Tegasnya, meskipun Indonesia terbagi atas sejumlah besar pulau-pulau yang
terpisah dan masyarakat yang sangat memegang adat dan etnologinya
masing-masing, dengan kekuatan agama,
semuanya dapat disatukan. Selain dari itu, agama juga mendominasi dalam
semangat nasionalis partai. Sebagaimana halnya partai nasionalis pertama di
Indonesia yang didirikan oleh Budi Utomo, pada akhirnya dikalahkan juga oleh
partai baru, Sarekat Islam. Unsur religius mungkin di dalam pergerakan atau
partai hanya sebagai daya tarik ke masyarakat, tetapi faktanya, partai baru
dengan dasar Islam berkembang sangat pesat.[18]
Mengutip
pendapat Roger Friendland, diharapkan nasionalisme
religius membentuk komunitas berbasis agama, dipahami sebagai sarana ciptaan
Tuhan, baik sebagai model pemerintahan dan sebagai unit bangsa. Nasionalisme
religius menciptakan teritorial bangsa yang bersih dan pada praktik politiknya,
mengubah ruang ibadah menjadi ruang publik yang dipolitisasikan pada sebuah
bangsa.[19] Adapun langkah
konkrit dalam menumbuhkan semangat nasionalisme religius pemuda berdasarkan
teori dakwah Mashhu>r adalah sebagai berikut:
a.
Pengenalan Dakwah
Pengenalan dakwah bukan
berarti memperkenalkan tata cara berdakwah pada pemuda, tetapi memperkenalkan
ajaran Islam yang komprehensif kepadanya. Dikarenakan mayoritas pemuda
Indonesia berada di sekolah, pesantren dan kampus, maka terlebih dahulu memperkenalkan
Islam di tempat tersebut. Jika ingin melihat pengalaman negara yang mulai
berhasil menerapkan itu bisa dilihat di Malaysia. Di malaysia, masyarakat dan
pemerintahnya telah makin sadar bahwa modal akhlak akan mampu membawa kemajuan
bangsa. Hal tersebut terlihat pada sekolah-sekolahnya sangat memperhatikan
pengajaran akhlak pada bidang studi Agama Islam.[20]
Indonesia tampaknya harus
mencontoh Malaysia sebagai negara yang menerapkan hal tersebut. Meskipun fokus
utamanya bukan akhlak, tetapi pada setiap sekolah dan kampus di Indonesia harus
mendapatkan pemahaman agama yang benar dan kuat meliputi seluruh aspeknya,
karena agama diyakini mampu memberikan perubahan positif itu. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Munamah membuktikan bahwa aktivitas keagamaan (salat dan
zikir) secara kontinu mampu menanggulangi kenakalan remaja di sekolah.[21]
Hanya saja seorang
pengemban dakwah, baik guru, dosen, dan aktivis lainnya, harus memahami kemurnian
Islam terlebih dahulu sebelum menyampaikan ke murid, mahasiswa, atau lainnya.
Bagaimana mungkin mendatangkan pemahaman yang benar pada objek yang didakwahi,
sedangkan ia sendiri masih masih belum memahami dan mempraktikkan secara benar,
terutama sekali menanamkan semangat nasionalisme religius. Dalam artian lain
bahwa pengemban dakwah tidak menyesatkan umat dengan kebodohannya.
Di sisi yang lain, dakwah
tidak akan sukses apabila tidak menyingkirkan dahulu tantangan bagi pendidikan
di Indonesia sendiri. Untuk itu, tidak heran dalam teori pengenalan dakwah ini,
pengemban dakwah harus mengetahui situasi dan kondisi yang dihadapi dengan
banyak survei dan membaca. Hery Noer Aly dan Munzier S. menyebutkan enam
tantangan tersebut, yang meliputi: 1). Kebudayaan Islam berhadapan dengan
budaya Barat yang didukung oleh media masa (cetak maupun elektronik). 2).
Tantangan yang bersifat internel, yaitu adanya upaya penghalangan dari beberapa
pihak dalam produktivitas pemikiran keislaman. 3). Adanya pengaruh negatif budaya
luar yang dibawa oleh pelajar Muslim khususnya Indonesia yang belajar di negeri
Asing. 4). Sistem kebudayaan Islam yang masih terpaku dengan metode tradisional
dan tidak mau menerima ide-ide modern. 5). Kurikulum universitas yang masih
mengabaikan kebudayaan Islam dan anggapan bahwa tugas pembekalan keagamaan itu
tugasnya universitas Islam. 6). Tidak adanya pendidikan yang memfokuskan untuk
anak-anak putri, padahal mereka akan menjadi ibu rumah tangga dan juga akan
bertanggungjawab dengan pendidikan anaknya kelak.[22]
Meskipun demikian, harus
ada usaha dan kerja keras untuk mengatasinya. Misalnya metode pengajaran harus
ditingkatkan, artinya baik guru maupun tenaga pendidik lainnya harus mengetahui
benar kondisi muridnya. Inilah yang disebut dengan ilmu psikologi pendidikan.
Saat murid sedang tegang, harus mampu membawa mencairkan suasana dengan candaan
misalnya, karena Rasulullah juga pernah bercanda. Tentu harus mengerti betul
tata cara bercanda yang dimaksud di sini.[23]
Selain dari tugas
pengajar baik di sekolah maupun di kampus, ada juga hal lain yang dapat
memberikan pengaruh positif pada pemuda, yaitu teman atau sahabatnya sendiri.
Dirasa pengaruh itu akan berdampak lebih besar, karena waktu bersama teman
lebih banyak dibandingkan dengan guru/ dosen, tetapi harus tahu juga kiatnya.
Ahmad Atian menyebutkan lima hal yang harus diterapkan oleh seorang teman ke
temannya yang lain, yang meliputi: 1). Dakwah prestasi, yaitu dakwah yang
berusaha mewujudkan berbagai prestasi gemilang dalam kehidupan teman (dai)
sehingga dapat memberikan simpatik tersendiri ke temannya yang lain. 2).
Perjuangan, yaitu dai harus berjuang keras untuk menyelamatkan rekannya dari
keterpurukan. 3). Dakwah kaya, yaitu selain dari memberikan simpatik dengan
prestasi, adakalanya kekeyaan juga menjadi pemikat bagi teman yang lain,
lebih-lebih terhadap teman yang lagi kesusahan dari segi ekonomi. 4). Ketokohan
sosial, yaitu dai harus menjadi tokoh yang menjadi panutan. 5). Kepemimpinan
sejati, hampir sama dengan dakwah melalui suatu sistem, yaitu sang dai harus
menjadi pemimpin di organisasi tertentu sehingga akan lebih mudah mengorganisir
temannya.[24]
Pengemban dakwah harus
juga memanfaatkan dari sejumlah kegiatan yang berpengaruh bagi pemuda. Dengan
itu, pengemban dakwah bisa juga berdakwah melalui pendekatan itu. Taufiq
al-Wa‘i telah menjelaskan tempat-tempat yang berpengaruh bagi generasi muda yang
harus dimanfaatkan oleh pengemban dakwah, yaitu: pada kegiatan olah raga, seni
dan kreasi, lagu dan nasyid, acara hiburan, lukisan dan dekorasi, kegiatan
ekstra (seperti rihlah), kegiatan jurnalistik dan media, dan kegiatan
keagamaan.[25]
Meskipun demikian,
pengemban dakwah jangan menbedakan objek dakwah. Kebenaran Islam harus
diketahui oleh semua orang tanpa memilih dan memilah objek dakwah. Pengemban
dakwah harus belajar juga dari sejarah Rasulullah yang pernah ditegur karena
memilih objek dakwah seperti yang tertera dalam
surat ‘Abasa.[26] Kemudian, pendakwah jangan menjelaskan terlebih
dahulu masalah yang bersifat pro dan kontra dalam ibadah. Cukup awal-awal
memberikan pemahaman akidah, kewajiban dan sunah yang paling mudah dan paling
mungkin diterapkan. Tidak akan berarti ketika ikhtilafiyah (perbedaan)
dalam konsep Islam dijelaskan apabila susah diterapkan. Akan lebih baik
terlebih dahulu memberikan pemahaman yang simpel, tetapi mudah diamalkan secara
kontinu.
b/c. Tahap Pembentukan dan Pembinaan serta Pelaksanaan
Secara lambat
laun, objek dakwah akan tersisihkan sendiri mana yang menerima dakwah dan
tidak. Perjalanan waktu telah menyisihkan hal itu. Diantaranya akan ada yang
beralasan karena tidak punya waktu, terhalang dengan kegiatan les dan belajar,
orang tua yang melarang, dan hal-hal lain. Untuk itu, jangan heran jika dalam
tahap ini hanya sedikit bisa dibentuk (dikaderkan) dan dibina. Senada dengan Masyhur,
Najih Ibrahim juga mengatakan kendati dakwah telah disampaikan ke banyak orang, tetap
saja hanya sedikit yang menerima dan dari golongan yang menerima tersebut hanya
sedikit juga yang mengamalkan secara sungguh-sungguh. Bahkan, saking sedikitnya
mereka bisa dihitung dengan jari dan namanya gampang dihafal. Kalau ditanya pun
ke mereka tentang peran, tugas, tanggung jawab, sumbangsihnya terhadap agama
Islam, maka mereka akan menjawab “kami hanya pendengar.”[27]
Dari jumlah
yang sedikit tersebut, barulah akan dibentuk dan bina, serta pada akhirnya
bersama-sama menuju semangat nasionalisme religius. Seiring perjalanan waktu,
dengan terus menambah pemahaman sesuai metode dan cara pada tahap pertama,
semangat nasionalisme religius akan muncul dengan sendirinya. Di tambah lagi wataniyat al-hanin (nasionalisme kerinduan) memang sudah tertanam di dalam hati dan sebagai
fitrah manusia. Selain dari itu, Islam juga memerintahkan hal tersebut.[28]
C.
KESIMPULAN
Teori dakwah Mustafa Masyhur merupakan teori dakwah
yang komplit dan tetap relevan dengan zaman kekinian. Dalam menumbuhkan semangat religius pemuda,
teori menawarkan tiga tahap, yaitu tahap pengenalan dakwah, tahap pembentukan
dan pembinaan, dan tahap penerapan. Pada akhirnya jika tahap-tahap ini diikuti,
akan menyelamatkan pemuda Indonesia dari pengaruh negatif sekaligus menjadikan
pemuda yang memperjuangkan dan memajukan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Jurnal:
al-Anani, Khalil. “The Power of
the Jama‘a: The Role of Hasan al-Banna in Constructing the Muslim Brotherhood’s Collective Identity.” Brill (2013): 4-11, http://www.brill.com/files/brill.nl/specific/downloads/35734-Preview_SOI.pdf
(diakses 26 Februari 2015).
Fox, Jonathan. “The Rise of
Religious Nationalism and Conflict: Ethnic Conflict and Revolutionary Wars,
1945-2001.” Journal of Peace Research 6 (2004): 715,
http://www.jstor.org/stable/4149714 (diakses 19 April 2015).
Friendland, Roger. “Money, Sex,
and God: The Erotic Logic of Religious Nationalism.” Sociological Theory 3 (2002): 383, http://www.jstor.org/stable/3108617 (diakses 17 April 2015).
Levy, Ran A. “The Idea of jihad and Its Evolution: H{asan
al-Banna and the Society of the Muslim
Brothers.” Die Welt Des Islams 54 (2014): 154, http://booksandjournals.brillonline.com/content/journals/10.1163/15700607-00542p01?crawler=true&mimetype=application/pdf
(diakses 14 Februari 2015).
R. Nasir, dkk.
“Psychosocial Factors Between Malaysian and Indonesian Juvenile Delinquents.” World
Applied Sciences Journal 12 (2011): 52, http://www.idosi.org/wasj/wasj12%28SPSHD%2911/10.pdf (diakses 18 April 2015).
Ramadhan,
Hamdan dan Muhammad Mahmud Ahmad. “al-Fikr
al-Ijtima‘i wa-al-Siyasi lil-Imam al-Shahid H{asan
al-Banna Dirasah Tahliliyah fi ‘Ilm al-Ijtima‘
al-Siyasi.” Collage
of Islamic Sciences Magazine 12 (2012): 20-26,
http://www.iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=61866 (diakses 26 Februari
2015).
Sarwini. “Kenakalan Anak (juvenile delinquency): Kausalitas
dan Upaya Penanggulangannya.” Perspektif 4 (2011): 245, http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201209442514478516/5.pdf
(diakses 19 April 2015).
Tuah, Abdul Hafiz Mat dkk. Memperkasakan Jati Diri Melayu-Muslim Menerusi Pendidikan Islam dalam
Pengajaran Akhlak. Jurnal Hadhari Special Edition (2012): 23, http://www.ukm.my/jhadhari/makalah/khas2012/JD005862%2023-36.pdf (diakses 18 April 2015).
Vandenbosch, Amry. “Nationalism and Religion in
Indonesia.” Far Eastern
Survey 18 (1952): 182, http://www.jstor.org/stable/3023866 (diakses 19 April 2015).
Sumber Buku:
al-Banna, Hasan. Majmu‘atur Rasail, diterjemahkan oleh Khozin Abu Faqih
dengan judul Kumpulan Risalah Dakwah Hasan al Banna Jilid 1. Jakarta:
Al-I’tishom, 2007.
al-Buti, Muhammad Sa‘id
Ramadan. Fiqh al-Sirah: Dirasah Manhajiyah ‘Ilmiyah
li-Sirat al-Mustafa ‘Alayh al-Salah wa-al-Salam, diterjemahkan oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid dengan judul Sirah
Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah
SAW. Jakarta: Robbani Press, 2007.
Al-Sayyid bin Ahmad Hamudah. al-Mizaah
Adab wa-Ahkam, diterjemahkan oleh Yunus
dengan judul Canda Nabi dan Orang-orang Shalih. Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2011.
al-Wa‘i,
Taufiq. Da‘wah Ila Allah, diterjemahkan oleh Muhith M. Ishaq dengan
judul Dakwah ke Jalan Allah; Muatan, Sarana dan Tujuan. Jakarta: Robbani
Press, 2010.
Aly, Hery Noer dan
Munzier. Watak
Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani, 2000).
Atian, Ahmad. Menuju
Kemenangan Dakwah Kampus. Surakarta: Era Adicitra Intermedia, 2010.
Ibarahim, Najih Muhammad. Risalah
Ila Kull Man Ya‘mal lil-Islam, diterjemahkan
oleh Fadhli Bahri dengan judul Taushiyah untuk Aktivis Islam. Jakarta
Timur: an-Nadwah, 2003.
Mashhur, Mustafa. Min Fiqh al-Da‘wah, diterjamahkan oleh Abu Ridho. dkk. dengan judul Fiqh Dakwah.
Jakarta: al-I’tishom Cahaya Umat, 2008.
Munamah. Aktivitas Keagamaan
Sebagai Solusi Kenakalan Remaja di Sekolah. (Tangerang Selatan: YPM, 2013).
Tim BIP. Materi
Tarbiyah Edisi Lengkap. Solo: Bina Insani Press, 2010.
[1]Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad ‘Abd al-Rahman al-Banna
al-Sa‘ati. Dia merupakan tokoh pendiri Ikwan al-Muslimin, lahir pada satu tahun setelah kematian tokoh pembaharu Islam terkenal, Muhammad ‘Abduh, pada 14 Oktober 1906, di
kota kecil Mahmudiyah di provinsi Buhayra Kairo. Tumbuh di sebuah
keluarga Muslim tradisional di mana ayahnya, Shaykh Ahmad ‘Abd al-Rahman al-Banna,
seorang ulama
dan imam masjid di Mahmudiyah. Setelah al-Banna menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, terjadi revolusi Mesir tahun 1919.
Dia bergabung dengan demonstrasi menentang pendudukan Inggris, sebuah polemik
nasionalis al-Banna terhadap kekuatan asing
dan juga menjadi ciri identitas Ikhwan al-Muslimin. Ran A. Levy, “The Idea of jihad and Its Evolution: Hasan
al-Banna and the Society of the Muslim Brothers,” Die Welt
Des Islams 54 (2014), 154, http://booksandjournals.brillonline.com/content/journals/10.1163/15700607-00542p01?crawler=true&mimetype=application/pdf
(diakses 14
Februari 2015).
[2]...لأَِنَّ
أَسَاسَ الإِْيْمَانِ الْقَلْبُ الذَّكِيُّ، وَأَسَاسَ الإِْخْلاَصِ الْفُؤَادُ النَّقِيُّ،
وَأَسَاسَ الْحَمَاسَةِ الْشُّعُوْرُ الْقَوِيُّ، وَأَسَاسَ الْعَمَلِ الْعَزْمُ الفَتِيُّ،
وَهَذِهِ كُلُّهَا لاَ تَكُوْنُ إِلاَّ لِلشَّبَابِ. وَمِنْ هُنَا كَانَ الشَّبَابُ
قَدِيْمًا وَ حَدِيْثًا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ عِمَادَ نَهْضَتِهَا...
Hasan al-Banna, Majmu‘atur Rasail, diterjemahkan
oleh Khozin Abu Faqih dengan judul Kumpulan
Risalah Dakwah Hasan al Banna Jilid 1 (Jakarta: Al-I’tishom, 2007), 70.
Lihat juga melalui situs http://www.dakahliaikhwan.com/viewarticle.php?id=19232
(diakses 17 April 2015).
[3]Lihat situs: http://akinini.com/keyakinan/beri-aku-10-pemuda-kuguncang-dunia-soekarno/140
(diakses 18 April 2015).
[4]Sarwini, “Kenakalan Anak (juvenile delinquency): Kausalitas dan Upaya
Penanggulangannya,” Perspektif 4 (2011), 245, http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201209442514478516/5.pdf
(diakses 19 April 2015).
[5]R. Nasir, dkk., “Psychosocial
Factors Between Malaysian and Indonesian Juvenile Delinquents,” World
Applied Sciences Journal 12 (2011), 52, http://www.idosi.org/wasj/wasj12%28SPSHD%2911/10.pdf (diakses 18 April 2015).
[6]Bahkan Rasulullah sendiri
pernah dianiaya berupa dibuangnya kotoran dan tanah. Begitu juga dengan para
sahabat dianiaya dengan ditanam hidup-hidup, kepalanya dibelah dua, dan disisir
rambutnya dengan sisir besi hingga kulitnya kepalanya terkelupas. Muh}ammad Sa‘id Ramadan
al-Buti, Fiqh al-Sirah: Dirasah Manhajiyah ‘Ilmiyah
li-Sirat al-Mustafa ‘Alayh al-Salah wa-al-Salam, diterjemahkan oleh Aunur
Rafiq Shaleh Tamhid dengan judul Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah
Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. (Jakarta: Robbani Press,
2007), 83-84.
[7]Mustafa
Masyhur, Min Fiqh al-Da‘wah, diterjamahkan oleh Abu Ridho. dkk. dengan
judul Fiqh Dakwah ( Jakarta: al-I’tishom Cahaya Umat, 2008), 12-13.
[8]Mustafa
Mashhur, Min Fiqhi ad-Da‘wah, 13.
[9]Mustafa
Mashhur, Min Fiqhi ad-Da‘wah, 14-17.
[10]Khalil al-Anani, “The Power of the Jama‘a: The Role of Hasan al-Banna in Constructing the Muslim Brotherhood’s Collective Identity,” Brill (2013),
4-11, http://www.brill.com/files/brill.nl/specific/downloads/35734-Preview_SOI.pdf
(diakses 26 Februari 2015).
[11]Penegasan al-Banna tersebut di atas
berdasarakan QS. al-Nah}l, 16: 64 (Kami tidak menurunkan
kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada
mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman). Hamdan Ramadan dan Muhammad
Mahmud Ahmad, “al-Fikr al-Ijtima‘i wa-al-Siyasi
lil-Imam al-Shahid Hasan al-Banna Dirasah Tahliliyah fi
‘Ilm al-Ijtima‘ al-Siyasi,” Collage
of Islamic Sciences Magazine 12 (2012), 20-26,
http://www.iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=61866 (diakses 26 Februari
2015).
[13]Mustafa Masyhur, Min Fiqhi ad-Da‘wah, 18-19.
[14]Mustafa Masyhur, Min Fiqhi ad-Da‘wah, 19-21.
[15]Mustafa Masyhur, Min Fiqhi ad-Da‘wah, 22-23.
[17]Jonathan Fox, “The Rise of
Religious Nationalism and Conflict: Ethnic Conflict and Revolutionary Wars,
1945-2001,” Journal of Peace Research 6 (2004), 715,
http://www.jstor.org/stable/4149714 (diakses 19 April 2015).
[18]Amry Vandenbosch, “Nationalism and Religion in Indonesia,” Far Eastern Survey 18 (1952), 182, http://www.jstor.org/stable/3023866 (diakses 19 April 2015).
[19]Roger Friendland, “Money, Sex,
and God: The Erotic Logic of Religious Nationalism,” Sociological Theory 3 (2002), 383, http://www.jstor.org/stable/3108617 (diakses 17 April 2015).
[20]Abdul Hafiz Mat Tuah, dkk., Memperkasakan Jati Diri Melayu-Muslim Menerusi Pendidikan Islam dalam
Pengajaran Akhlak, Jurnal Hadhari Special Edition (2012), 23, http://www.ukm.my/jhadhari/makalah/khas2012/JD005862%2023-36.pdf (diakses 18 April 2015).
[21]Munamah, Aktivitas Keagamaan Sebagai Solusi
Kenakalan Remaja di Sekolah (Tangerang Selatan: YPM, 2013), 170.
[22]Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam (Jakarta:
Friska Agung Insani, 2000), 227-234.
[23]Canda yang dimaksud
adalah canda yang tidak dikotori dengan hal-hal yang benci oleh Allah, tidak
mengandung dosa, dan tidak menyebabkan purusnya silaturahmi. Al-Sayyid bin Ahmad Hamudah menegaskan bahwa candaan
yang dilakukan Rasulullah bersifat menghibur dan membahagiakan, serta
mendekatkan hubungannya dengan sahabat. Al-Sayyid bin Ahmad
Hamudah, al-Mizaah Adab wa-Ahkam, diterjemahkan oleh Yunus
dengan judul Canda Nabi dan Orang-orang Shalih (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2011), 3.
[24]Ahmad Atian, Menuju
Kemenangan Dakwah Kampus (Surakarta: Era Adicitra Intermedia, 2010),
79-104.
[25]Taufiq
al-Wa‘i, Da‘wah Ila Allah, diterjemahkan oleh Muhith M. Ishaq dengan
judul Dakwah ke Jalan Allah; Muatan, Sarana dan Tujuan (Jakarta: Robbani
Press, 2010), 590-599.
[26]Ketika itu Rasulullah
lagi sibuk berdakwah dari pembesar Quraish, tiba-tiba datang Ibn
Umi Maktum, seorang laki-laki yang buta lagi fakir, ingin mendapatkan penerangan
agama juga dari Rasul. Kemudian Rasul benci kepadanya dan memalingkan wajah.
Atas peristiwa itu, Rasulullah ditegur
melalui surat ‘Abasa. Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur‘an Surat ‘Abasa, 2. melalui situs: http://www.startimes.com/f.aspx?t=32252802
(diakses 21 April 2015).
[27]Najih Muhammad Ibarahim, Risalah
Ila Kull Man Ya‘mal lil-Islam, diterjemahkan oleh Fadhli
Bahri dengan judul Taushiyah untuk Aktivis Islam (Jakarta Timur:
an-Nadwah, 2003), 91-92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar